KERANGKA BERFIKIR DALAM MEMAHAMI AGAMA ALA MUHAMMADIYAH

 

KERANGKA BERFIKIR DALAM MEMAHAMI AGAMA ALA  MUHAMMADIYAH
KERANGKA BERFIKIR DALAM MEMAHAMI AGAMA ALA  MUHAMMADIYAH

KERANGKA BERFIKIR DALAM MEMAHAMI AGAMA ALA  MUHAMMADIYAH

I. Pemahaman Bidang Duniawiyah

Dalam Manhaj Tarjeh, Qoidah yang ke-17 yang berbunyi : “Dalam hal-hal yang termasuk al-Umur, al Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat diperlukan demi tercapainya keselamatan Umat.”

Ini memberi pengertian bahwa Muhammadiyah di bidang yang berhubungan dengan keduniaan atau tamaddun. Peratik saat ini tidak harus sama dengan peratik zaman Rosulullah. Pratik Asshohihah

II. Dasar Utama dalam Menetapkan Dalil

Dalam Manhaj Tarjeh, Qoidah yang pertama berbunyi : “Di dalam beristiddlal, Dasar utamanya adalah Al-Qur’an dan sunnah Asshohihah. (Manhaj Tarjeh hal 10)

Di dalam HPT hal 278, Tertulis : “  Yang dimaksud as-sunnah Shohihah, bukan hadist Shohihah, tetapi Hadist Maqbul atau yang disebut Al-Hadist Asyarif ”.

III. Penyelesaian Dalil-Dalil yang Kelihatan Bertentangan

Dalam Manhaj Tarjeh, Qoidah yang ke-9 yang berbunyi : “Terhadap dalil-dalil yang tampak mengandung Ta’arud (bertentangan) digunakan cara al-Jam’u Wat Taufik dan kalau tidak dapat, digunakan Tarjeh (Manhaj Tarjeh hal 12). 4 kata kunci yaitu :

1.      Al-Jam’u Wat Taufiq yaitu sikap semua menerima dalil yang walaupun dhohirnya bertentangan (ta’arud) sedangkan pada dataran peratik pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya dengan prinsip Taisir.

2.      Al-Tarjeh yaitu memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lebih lemah, seperti masalah Qunut dalam shalat Shubuh.

3.      Annasih yaitu mengamalkan dalil yang muncul lebih akhir.

4.      Al-Tawakuf : menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.

 

 

 

 

 

KEDUDUKAN MAZHAB , PENDAPAT IMAM, IJMA’ DAN QIYAS

1. Mazhab

Dalam Manhaj Tarjeh halaman 5 Kaedah 4 berbunyi : “Tidak mengikat diri kepada sesuatu Madzab tetapi pendapat-pendapat Imam Madzab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa Al-Qur’an dan Sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat.

Ini berarti bahwa Muhammadiyah bukan firqoh, bukan pula Madzab dan tidak terikat oleh madzab-madzab tertentu, baik dalam bidang aqidah maupun dalam bidang fiqih.

Pendapat-pendapat para Ulama’, baik yang tergabung dalam Madzab tetap untuk menjadi bahan petimbangan dan petunjuk untuk menentukan suatu hukum.

Muhammadiyah akan menetapkan sesuatu yang dipandang paling kuat, sesuai dengan hasil Musyawaroh yang diatur berdasarkan bersama (Ijtihad Jam’I).

2. Ijma’

Dalam Buku Manhajutarjeh halaman 11 kaedah ke-8, Berbunyi :

Tidak menolak Ijma’ Sahabat sebagai dasar suatu keputusan”

 Ini berarti, Muhammadiyah menerima Ijma’ sebagai dasar memutuskan suatu masalah, baik dalam bidang ibadah Mahdoh maupun dalam masalah ibadah ghoiru mahdoh, namun dari sekian varian Ijma’, Muhammadiyah menerima Ijma’ sahabat. Dan ini tidak berarti Muhammadiyah mengingkari Ijma’ Ulama’, Ijma’ ahli Madinah dan Ijma’ Umat.

3. Ijtihad Qiyasi

Dalam Buku ManhajuTarjeh halaman 35 Kaedah yang ke-21, Berbunyi :

Ijtihad Qiyasi yaitu menerangkan hukum yang telah ada nasahnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan Nash, karena adanya kesamaan Ylatnya.”

Di dalam HPT halaman 278 ada penjelasan Hal tersebut, Berbunyi :

Bahwa Ijtihad Qiyasi yang diamalkan oleh Muhammadiyah terikat oleh beberapa syarat :

1.      Masalah yang dihadapi bukan masalah Ibadah Mahdoh.

2.      Masalah yang dihadapi tidak ditemukan Nash Sa’reh dari Al-Qur’an maupun Sunnah.

3.      Masalah yang dihadapi memang perlu ditetapkan dalam amal nyata.

4.      Masalah yang dihadapi mempunyai Ilat yang sama dengan dasar yang dipakai untuk Qiyas.

     

   

 

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel